Amalan bacaan Yasin dan tawassul untuk menjalin silaturahmi dengan ahli kubur
Rasulullah telah bersabda bahwa akan muncul orang-orang yang
mengikuti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim, salaf yang
bertemu dengan Rasulullah namun tidak mendengarkan dan mengikuti
Rasulullah melainkan mengikuti pemahaman atau akal pikirannya sendiri,
salah satu ciri-cirinya adalah menganggap mayoritas kaum muslim
(as-sawadul a’zham) telah rusak maka sesungguhnya mereka sendri yang
rusak.
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab;
Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Suhail bin Abu
Shalih dari Bapaknya dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Demikian juga diriwayatkan dari
jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dia
berkata; Aku membaca Hadits Malik dari Suhail bin Abu Shalih dari
Bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: Apabila ada seseorang yang berkata; ‘Celakalah (rusaklah)
manusia’, maka sebenarnya ia sendiri yang lebih celaka (rusak) dari
mereka. (HR Muslim 4755)
Pada hakikatnya mereka yang melarang (mengharamkan) hadiah bacaan
Yasin setiap malam Jum’at maka ketika mereka di alam barzakh (alam
penantian) yang sangat lebih lama dari pada alam dunia dalam kesendirian
karena tidak ada yang bersilaturahmi dan karena tidak dikenal sehingga
menyendiri (mengasingkan diri) dalam arti menyempal keluar dari
mayoritas ahli kubur yang muslim (as-sawadul a’zham)
Orang-orang yang melarang (mengharamkan) kebiasaan membaca Yasin di
malam Jum’at adalah contoh orang-orang yang menghukumi sebuah kebiasaan
berdasarkan Al Qur’an dan Hadits bersandarkan mutholaah (menelaah kitab)
secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa
menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar,
maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Memang ada hadits yang telah terbukukan dalam kitab hadits seperti
sunnah Rasulullah membaca surat Al Kahfi pada malam Jum’at namun bukan
berarti terlarang membaca surat lainnya
Dari Abu Sa’id al-Khudri radliyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa membaca surat al-Kahfi pada
malam Jum’at, maka dipancarkan cahaya untuknya sejauh antara dirinya dia
dan Baitul ‘atiq.” (Sunan Ad-Darimi, no. 3273. Juga diriwayatkan
al-Nasai dan Al-Hakim)
Dalam perkara kebiasaan yang termasuk ibadah ghairu mahdhah berlaku
kaidah usul fiqih “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u
sooriful ibahah” maksudnya dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang
meliputi perkara muamalah, kebiasaan dan adat hukum asalnya adalah boleh
saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada
dalil yang melarang atau mengharamkannya“.
Contohnya ada seseorang membiasakan sebelum tidur membaca Al Qur’an 1
Juz tidak akan masuk neraka karena tidak melanggar larangan Allah dan
RasulNya.
Sedangkan contoh pada mereka, ada mereka yang mempunyai kebiasaan
yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah maupun para Sahabat seperti
membiasakan daurah atau taklim setiap hari minggu hukum asalnya adalah
mubah sehingga tidak akan masuk neraka karena mereka tidak melanggar
larangan Allah dan RasulNya namun hukum asal berubah dari mubah menjadi
haram kalau dalam daurah atau taklim mereka gemar mengkafirkan umat
Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka
Para ulama telah memberi batasan bahwa perkara kebiasaan apapun yang
tidak ada dalil yang menjelaskan keharaman atau kewajiban sesuatu secara
jelas, maka perkara tersebut merupakan amrun mubah, perkara yang
dibolehkan sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/15/amrun-mubah/
Dasar hukum yang membolehkan kebiasaan mengkhususkan surat-surat tertentu
Diriwayatkan ketika Imam Masjid Quba setiap kali sholat ia selalu
membaca surat Al Ikhlas, setiap sholat ia selalu membaca surat Al
Fatihah, Al Ikhlas, baru surat lainnya.
Ada orang yang mengadukannya
pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian ia ditanya oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam : Mengapa kau melakukan hal itu?
Maka ia menjawab : “inniy uhibbuhaa” , Aku mencintai surat Al Ikhlas.
Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “hubbuka iyyahaa
adkhalakal jannah”, Cintanya pada surat Al ikhlas akan membuatnya masuk
surga” (Shahih Al Bukhari Hadits No 774)
Al Hujjatul Islam Al Imam Ibnu Hajar Al Asqalani mensyarah hadits
ini, beliau berkata: “Hadis ini adalah dalil diperbolehkannya memilih
surat-surat tertentu dari sebagian al-Quran (yang dia sukai) berdasarkan
kemauannya sendiri (untuk diamalkan) dan memperbanyak membacanya, dan
hal seperti ini tidaklah dianggap mengabaikan surat yang lain (maksudnya
hal itu tidak bisa dikatakan bahwa dia membeda-bedakan kalamullah
Subhanahu wa Ta’ala) ” (Fathul Bari bi Syarah Shahih Bukhari 3/150)
Dasar hukum yang membolehkan mengkhususkan waktu
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Umar, “Nabi
shallallahu alaihi wasallam selalu mendatangi masjid Quba setiap hari
sabtu baik dengan berjalan kaki maupun dengan mengendarai kendaraan,
sedangkan Abdullah selalu melakukannya.” (HR. Imam al-Bukhari dalam
Sahih al-Bukhari I/398 hadits 1174)
Dalam mengomentari hadits ini Al Hujjatul Islam Ibnu Hajar berkata:
“Hadits ini dengan sekian jalur yang berbeda menunjukkan akan
diperbolehkannya menjadikan hari-hari tertentu untuk sebuah ritual yang
baik dan istiqamah. Hadits ini juga menerangkan bahwa larangan
bepergian ke selain tiga masjid (Masjid al-Haram, Masjid al-Aqsa, dan
Masjid Nabawi) tidaklah haram.
(Al Hujjatul Islam Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari III/69, Dar al-Fikr Beirut)
Ada larangan berkenaan dengan hari Jum’at adalah seperti,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Janganlah salah
seorang diantara kalian berpuasa pada hari Jum’at kecuali ia berpuasa
sebelum atau sesudanya” (HR. Muslim no. 1144).
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Sesungguhnya, hari Jumat adalah hari raya. Karena
itu, janganlah kalian jadikan hari raya kalian ini sebagai hari untuk
berpuasa, kecuali jika kalian berpuasa sebelum atau sesudah hari Jumat.”
(H.r. Ahmad dan Hakim)
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu; Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at untuk
tahajud dan meninggalkannya di malam yang lain. Jangan pula
mengkhususkan siang harinya untuk berpuasa, kecuali dalam rangkaian
puasa kalian.” (H.r. Muslim)
Hadits larangan puasa di hari Jum’at adalah terkait hari Jumat adalah hari raya namun hukumnya makruh tidak sampai haram.
Diharamkan berpuasa pada 5 hari: dua hari raya (Idul Fithri dan Idul Adha); tiga hari tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah).
Dimakruhkan berpuasa pada hari meragukan (yaumusy syakk) kecuali jika
berpapasan dengan kebiasaan puasanya atau bersambung dengan hari
sebelumnya.
Sedangkan hadits terkait sholat tahajud adalah melarang kita
mengkhususkan sholat tahajud pada malam Jum’at dan mengharamkan pada
malam lainnya karena hal tersebut termasuk ghuluw (melampaui batas)
dalam beragama atau bid’ah dalam urusan agama yakni mewajibkan sesuatu
yang tidak diwajibkanNya atau melarang sesuatu yang tidak dilarangNya
Kaum Nasrani melampaui batas (ghuluw) dalam beragama tidak hanya
dalam menuhankan al Masih dan ibundanya namun mereka melampaui batas
(ghuluw) dalam beragama karena mereka melarang yang sebenarnya tidak
dilarangNya, mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya atau
mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya
Firman Allah Ta’ala yang artinya , “Kemudian Kami iringi di belakang
mereka dengan rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra
Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati
orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka
mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada
mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari
keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan
yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di
antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.
(QS. al Hadid [57]: 27)
Hal yang dimaksud dengan Rahbaaniyyah ialah tidak beristeri atau
tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara. Kaum Nasrani melakukan
tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama yakni melarang yang
tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan
yang tidak diwajibkanNya
Para Sahabat juga hampir melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama seperti
1. Mewajibkan dirinya untuk terus berpuasa dan melarang dirinya untuk berbuka puasa
2. Mewajibkan dirinya untuk sholat (malam) dan melarang dirinya untuk tidur
3. Melarang dirinya untuk menikah
Namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegur dan mengkoreksi
mereka dengan sabdanya yang artinya, “Kalian yang berkata begini begitu?
Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di
antara kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga
tidur, dan aku (juga) menikah dengan para wanita. (Karena itu), barang
siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.”
Oleh karena mereka salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun
perkataan atau pendapat ulama salaf (terdahulu) sehingga mereka dapat
terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Nasrani yang melampaui batas
(ghuluw) dalam beragama yakni orang-orang yang menganggap buruk sesuatu
sehingga melarang yang tidak dilarangNya atau mengharamkan yang tidak
diharamkanNya dan sebaliknya menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan
yang tidak diwajibkanNya sehingga mereka menjadikan ulama-ulama mereka
sebagai tuhan-tuhan selain Allah sebagaimana yang telah disampaikan pada
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/04/20/menjauh-darinya/
Kejahatan paling besar dosanya terhadap kaum muslimin lainnya yakni
mengharamkan atau melarang hanya karena pertanyaan saja bukan
berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Orang muslim yang
paling besar dosanya (kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya
adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak
diharamkan (dilarang) bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu
tersebut diharamkan (dilarang) bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR
Bukhari 6745, HR Muslim 4349, 4350)
Hal yang harus kita ingat selalu bahwa dalam perkara kewajiban maupun
larangan adalah perkara agama yang berasal dari Allah Azza wa Jalla
bukan menurut akal pikiran manusia
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda,“di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal
pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan
larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Apa yang diberikan Rasul kepadamu,
maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”
(QS al-Hasyr [59]:7)
Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah
semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-Maaidah: [5] : 3)
Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak
ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu
yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali
perkara yang disyariatkan-Nya.”
Imam Jalaluddin As Suyuti dalam kitab tafsir Jalalain ketika
mentafsirkan “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu” yakni
hukum-hukum halal maupun haram yang tidak diturunkan lagi setelahnya
hukum-hukum dan kewajiban-kewajibannya.
Jadi mengharamkan (melarang) sesuatu tanpa dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah termasuk bid’ah dalam urusan agama
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang
membuat perkara baru dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya (tidak
diturunkan keterangan padanya) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh karenanya dikatakan pelaku bid’ah dalam urusan agama lebih
disukai Iblis daripada pelaku maksiat karena mereka menjadikan
sembahan-sembahan selain Allah dan karena para pelaku tidak menyadarinya
sehingga mereka sulit bertaubat.
Faktor terpenting yang mendorong seseorang untuk bertaubat adalah
merasa berbuat salah dan merasa berdosa. Perasaan ini banyak dimiliki
oleh pelaku kemaksiatan tapi tidak ada dalam hati orang melakukan bid’ah
dalam urusan agama..
Ali bin Ja’d mengatakan bahwa dia mendengar Yahya bin Yaman berkata
bahwa dia mendengar Sufyan (ats Tsauri) berkata, “Bid’ah itu lebih
disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat
itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d dalam Musnadnya no 1809 )
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Apakah mereka mempunyai
sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama
yang tidak diizinkan Allah?” (QS Asy Syuura [42]:21)
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Mereka menjadikan para
rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS
at-Taubah [9]:31)
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah
para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai
tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak
menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta
itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan
jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka
mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para
rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang
halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka
mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.”
(Riwayat Tarmizi)
Begitupula para Imam Mujtahid telah mengingatkan untuk berhati-hati
dalam berijtihad dan beristinbat (menetapkan hukum perkara), hindarilah
mengharamkan (melarang) sesuatu tanpa dalil karena perbuatan
mengharamkan (melarang) sesuatu tanpa dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah
termasuk perbuatan menyekutukan Allah
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya
mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa
yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu
menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan
padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu
tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Rabbku
memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia
ajarkanpadaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba
itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus,
tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian
membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan atas mereka sesuatu
yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau
menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan
padanya”. (HR Muslim 5109)
Apalagi mereka menghukumi sebuah kebiasaan hanya bermodalkan hadits-hadits yang terbukukan dalam kitab-kitab hadits.saja
Hal yang perlu kita ingat, banyak hadits-hadits yang belum terbukukan
karena hadits-hadits yang terkait amal kebaikan untuk taqarrub ilallah
tidak harus disampaikan dan diketahui kebanyakan orang yakni
hadits-hadits yang kalau salah menerima dan memahaminya sehingga salah
paham bahkan berakibat akan membunuh orang yang menyampaikannya
Sahabat Nabi, Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata , ” Aku menerima
sekantung ilmu dari Rasulullah. Separuh kantung aku bagikan kepada kamu
semua dan separuhnya lagi aku simpan buat aku sendiri . Karena jika
yang separuh lagi itu aku bagikan juga , niscaya kalian akan
mengkafirkanku dan menggantungku”
Separuh kantung yang telah dibagikan dan harus diketahui kebanyakan
orang adalah ilmu syariat dan separuh kantung lainnya adalah Ilmu
seperti “Hai’atil Maknun” yang diterima oleh para ulama Allah
sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/04/20/ulama-allah/
Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata “Aku telah hafal dari
Rasulillah dua macam ilmu, pertama ialah ilmu yang aku dianjurkan untuk
menyebarluaskan kepada sekalian manusia yaitu Ilmu Syariat. Dan yang
kedua ialah ilmu yang aku tidak diperintahkan untuk menyebarluaskan
kepada manusia yaitu Ilmu yang seperti “Hai’atil Maknun”. Maka apabila
ilmu ini aku sebarluaskan niscaya engkau sekalian memotong leherku
(engkau menghalalkan darahku). (HR. Thabrani)
Hadits-hadits yang tidak harus disampaikan dan diketahui kebanyakan
orang dan hanya disampaikan melalui lisan ke lisan para ulama yang sanad
ilmu (sanad guru) tersambung kepada lisannya Rasulullah adalah seperti
hadits terkait dengan ruh
Kaitan malam atau hari Jum’at adalah dalam rangka menyambung tali silaturahmi dengan ahli kubur
Pada suatu waktu Hasan al Qassab dan kawannya datang berziarah ke
kuburan muslimin. Setelah mereka memberi salam kepada ahli kubur dan
mendoakannya, mereka kembali pulang. Di perjalanan ia bertemu dengan
salah satu temannya dan berkata kepada Hasan al-Qassab : “Ini hari
adalah hari Senin. Coba kamu bersabar, karena menurut Salaf bahwa ahli
kubur mengetahui kedatangan kita di hari Jumat dan sehari sebelumnya
atau sehari sesudahnya”
Aal-Imam Sofyan al-Tsauri.rhm
telah diberitahukan dari al-Dhohhak bahwa siapa yang berziarah kuburan
pada hari Juma’t dan Sabtu sebelum terbit matahari maka ahli kubur
mengetahui kedatangannya. Hal itu karena kebesaran dan kemuliaan hari
Juma’t.
Diriwayatkan salah satu dari keluarga Asem al Jahdari pernah bermimpi
melihatnya dan berkata kepadanya : “ Bukankan kamu telah meninggal
dunia? Dan dimana kamu sekarang? “ Asem berkata : “ Saya berada di
antara kebun-kebun sorga. Saya bersama teman-teman saya selalu berkumpul
setiap malam Juma’t dan pagi hari Juma’t di tempat Abu Bakar bin
Abdullah al Muzni. Di sana kita mendapatkan berita-berita tentang kamu
di dunia. Kemudian saudaranya yang bermimpi bertanya : “Apakan kalian
berkumpul dengan jasad-jasad kalian atau dengan ruh-ruh kalian? “ Maka
mayyit itu ( Asem al-Jahdari ) berkata : “ Tidak mungkin kami berkumpul
dengan jasad-jasad kami karena jasad- jasad kami telah usang. Akan
tetapi kami berkumpul dengan ruh-ruh kami “.. Kemudian ditanya : “Apakah
kalian mengetahui kedatangan kami ? “. Maka dijawab : “ Ya!.. Kami
mengetahui kedatangan kamu pada hari Juma’t dan pagi hari Sabtu sampai
terbit matahari “. Kemudan ditanya : “ Kenapa tidak semua hari-hari kamu
mengetahui kedatangan kami? “. Ia (mayyit) pun menjawab : “ Ini adalah
dari kebesaran dan keafdholan hari Juma’t “.
Ibunya Utsman al Tofawi disaat datang sakaratul maut, berwasiat
kepada anaknya : “Wahai anakku yang menjadi simpananku di saat datang
hajatku kepadamu. Wahai anakku yang menjadi sandaranku disaat hidupku
dan matiku. Wahai anakku janganlah kamu lupa padaku menziarahiku setelah
wafatku“. Setelah ibunya meninggal dunia, ia selalu datang setiap hari
Juma’t kekuburannya, berdoa dan beristighfar bagi arwahnya dan bagi
arwah semua ahli kubur. Pernah suatu hari Utsman al Tofawi bermimpi
melihat ibunya dan berkata : “Wahai anakku sesunggunya kematian itu
suatu bencana yang sangat besar. Akan tetapi, Alhamdulillah, aku
bersyukur kepada-Nya sesungguhnya aku sekarang berada di Barzakh yang
penuh dengan kenikmatan. Aku duduk di tikar permadani yang penuh dengan
dengan sandaran dipan-dipan yang dibuat dari sutera halus dan sutera
tebal. Demikianlah keadaanku sampai datangnya hari kebangkitan”..
Utsman al Tofawi bertanya : “ Ibu!.. Apakah kamu perlu sesuatu dari ku ? “
Ibunya pun menjawab : “Ya!..Kamu jangan putuskan apa yang kamu telah
lakukan untuk menziarahiku dan berdoa bagiku. Sesungguhnya aku selalu
mendapat kegembiraan dengan kedatanganmu setiap hari Juma’t. Jika kamu
datang ke kuburanku semua ahli kubur menyambut kedatanganmu dengan
gembira“.
Pada zaman paceklik, Bisyir bin Mansur.rhm
selalu datang ke kuburan muslimin dan menghadiri sholat jenazah. Di
sore harinya seperti biasa dia berdiri di muka pintu kuburan dan berdoa :
“Ya Allah berikan kepada mereka kegembiraan di saat mereka merasa
kesepian. Ya Allah berikan kepada mereka rahmat di saat mereka merasa
menyendiri. Ya Allah ampunilah dosa-dosa mereka dan terimalah amal-amal
baik mereka “. Basyir berdoa di kuburan tidak lebih dari doa-doa yang
tersebut diatas. Pernah satu hari, dia lupa tidak datang ke kuburan
karena kesibukannya dan tidak berdoa sebagaimana ia berdoa setiap hari
untuk ahli kubur.. Pada malam harinya dia bermimpi bertemu dengan semua
ahli kubur yang selalu di ziarahinya. Mereka berkata : “Kami terbiasa
setiap hari diberikan hadiah darimu dengan doa-doa. maka janganlah kamu
putuskan doa-doa itu“.
al-Fadhel bin Muaffaq disaat ayahnya meninggal dunia, sangat sedih
sekali dan menyesalkan kematiannya. Setelah dikubur, ia selalu
menziarahinya hampir setiap hari. Kemudian setelah itu mulai berkurang
dan malas karena kesibukannya. Pada suatu hari dia teringat kepada
ayahnya dan segera menziarahinya. Disaat ia duduk disisi kuburan
ayahnya, ia tertidur dan melihat seolah-olah ayahnya bangun kembali dari
kuburan dengan kafannya. Ia menangis saat melihatnya. Ayahnya berkata :
“wahai anakku kenapa kamu lalai tidak menziarahiku? Al-Fadhel berkata :
“ Apakah kamu mengetahui kedatanganku? ” Ayahnya pun menjawab : “ Kamu
pernah datang setelah aku dikubur dan aku mendapatkan ketenangan dan
sangat gembira dengan kedatanganmu begitu pula teman-temanku yang di
sekitarku sangat gembira dengan kedatanganmu dan mendapatkan rahmah
dengan doa-doamu”. Mulai saat itu ia tidak pernah lepas lagi untuk
menziarahi ayahnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Tidak seorangpun
yang mengunjungi kuburan saudaranya dan duduk kepadanya (untuk
mendoakannya) kecuali dia merasa bahagia dan menemaninya hingga dia
berdiri meninggalkan kuburan itu.” (HR. Ibnu Abu Dunya dari Aisyah dalam
kitab Al-Qubûr).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Tidak seorang pun
melewati kuburan saudaranya yang mukmin yang dia kenal selama hidup di
dunia, lalu orang yang lewat itu mengucapkan salam untuknya, kecuali dia
mengetahuinya dan menjawab salamnya itu.” (Hadis Shahih riwayat Ibnu
Abdul Bar dari Ibnu Abbas di dalam kitab Al-Istidzkar dan At-Tamhid).
Dari Abu Hurairah , Rasulullah bersabda: Tidak seorang pun yang
memberi salam kepadaku kecuali Allah akan menyampaikan kepada ruhku
sehingga aku bisa menjawab salam itu.(HR. Abu Dawud)
Oleh karenanya bagi umat Islam yang tidak lagi memiliki waktu untuk
menziarahi ahli kubur setiap hari Jum’at maka untuk menjaga tali
silaturahmi dapat mengirimi hadiah bacaan setiap malam Jum’at.
Jadi mereka yang melarang (mengharamkan) hadiah bacaan Yasin setiap
malam Jum’at maka ketika mereka di alam barzakh (alam penantian) yang
sangat lebih lama dari alam dunia dalam kesendirian karena tidak ada
yang bersilaturahmi.
Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bacalah surat Yaasiin
untuk orang yang mati di antara kamu.” (Riwayat Imam Abu Dawud; kitab
Sunan Abu Dawud, Juz III, halaman 191)
Al-Faqih al-Hanbali al-Ushuli al-Mutqin al-‘allamah Qadhi qudhah,
Ibnu an-Najjar berkomentar : “Hadits tersebut mencangkup orang yang
sekarat maupun sudah wafat, baik sebelum dimakamkan atau pun sudah
dimakamkan. Setelah dimakamkan, maka itu adalah makna hadits secara
hakikat (dhahir) dan sebelum dimakamkan, maka itu makna hadits secara
majaz “ (Mukhtashar at-Tahrir syarh al-Kaukab al-Munir : 3/193)
Ada pula orang-orang yang menyampaikan potongan pendapat Imam Syafi’i
~rahimahullah bahwa bacaan Al Qur’an tidak sampai kepada yang wafat
sehingga pendapat tersebut menjadi pendapat masyhur
Latar belakang Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan bahwa bacaan
Al Qur’an tidak sampai kepada yang wafat, karena orang-orang kaya yang
di masa itu jauh hari sebelum mereka wafat, mereka akan membayar
orang-orang agar jika ia telah wafat mereka menghatamkan Al Qur’an
berkali-kali dan pahalanya untuknya, maka Al Imam Syafi’i ~rahimahullah
mengatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak bisa sampai kepada yang
wafat.
Syarat sampai pahala bacaan tergantung niat (hati) jika niat tidak
lurus seperti niat “jual-beli” maka pahala bacaan tidak akan sampai.
Dituntut keikhlasan bagi setiap yang bersedekah baik dalam bentuk harta
maupun dalam bentuk bacaan Al Qur’an.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Allah tidak
memandang rupa dan harta kamu tetapi Dia memandang hati dan amalan
kamu.” (HR Muslim 4651).
Berkata Syaikh Ali bin Muhammad bin Abil lz : “ Adapun Membaca
Al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang mati secara
sukarela dan tanpa upah, maka pahalanya akan sampai kepadanya
sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji ”. (Syarah aqidah Thahawiyah
hal. 457).
Berikut penjelasan dari para pengikut Imam Syafi’i apa yang dimaksud dengan pendapat masyhur Imam Syafi’i tentang pahala bacaan.
Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshari dalam Fathul Wahab
menyampaikan penjelasan dari Imam An Nawawi : “Dan apa yang dikatakan
sebagai qaul masyhur dibawa atas pengertian apabila pembacaannya tidak
di hadapan mayyit, tidak meniatkan pahala bacaannya untuknya atau
meniatkannya, dan tidak mendo’akannya bahkan Imam as-Subkiy berkata ;
“yang menunjukkan atas hal itu (sampainya pahala) adalah hadits
berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila diqashadkan
(ditujukan) dengan bacaannya akan bermanfaat bagi mayyit dan diantara
yang demikian, sungguh telah di tuturkannya didalam syarah ar-Raudlah”.
(Fathul Wahab bisyarhi Minhajit Thullab lil-Imam Zakariyya al-Anshari
asy-Syafi’i [2/23]).
Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj :
“Sesungguhnya pendapat masyhur adalah diatas pengertian apabila
pembacaan bukan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit), pembacanya tidak
meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit atau meniatkannya, dan tidak
mendo’akannya untuk mayyit” (Tuhfatul Muhtaj fiy Syarhi al-Minhaj
lil-Imam Ibn Hajar al-Haitami [7/74].)
Jadi kesimpulannya Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mensyaratkan sampai
pahala bacaan jika memenuhi salah satu dari syarat-syarat berikut
1. Pembacaan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit),
2. Pembacanya meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit
3. Pembacanya mendo’akannya untuk mayyit.
Berkata Muhammad bin ahmad almarwazi : “ Saya mendengar Imam Ahmad
bin Hanbal berkata : “Jika kamu masuk ke pekuburan, maka bacalah
Fatihatul kitab, al-ikhlas, al falaq dan an-nas dan jadikanlah pahalanya
untuk para penghuni kubur, maka sesungguhnya pahala itu sampai kepada
mereka. Tapi yang lebih baik adalah agar sipembaca itu berdoa sesudah
selesai dengan: “ Ya Allah, sampaikanlah pahala ayat yang telah aku baca
ini kepada si fulan …” (Hujjatu Ahlis sunnah waljamaah hal. 15)
Imam Nawawi berkata dalam Majmu’nya : “Dan disunnahkan bagi peziarah
kubur untuk memberikan salam atas (penghuni) kubur dan mendo’akan kepada
mayit yang diziarahi dan kepada semua penghuni kubur, salam dan do’a
itu akan lebih sempurna dan lebih utama jika menggunakan apa yang sudah
dituntunkan atau diajarkan dari Nabi Muhammad Saw. dan disunnahkan pula
membaca al-Qur’an semampunya dan diakhiri dengan berdo’a untuknya,
keterangan ini dinash oleh Imam Syafi’i (dalam kitab al-Um) dan telah
disepakati oleh pengikut-pengikutnya”. (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab,
V/258)
Imam Nawawi berkata “Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata :
“disunnahkan agar membaca sesuatu dari al-Qur’an disisi quburnya
(Riyadlush Shalihin [1/295] lil-Imam an-Nawawi ; Dalilul Falihin [6/426]
li-Imam Ibnu ‘Allan ; al-Hawi al-Kabir fiy Fiqh Madzhab asy-Syafi’i
(Syarah Mukhtashar Muzanni) [3/26] lil-Imam al-Mawardi dan lainnya.
Imam Syafi’i mengatakan “aku menyukai sendainya dibacakan al-Qur’an
disamping qubur dan dibacakan do’a untuk mayyit” ( Ma’rifatus Sunani wal
Atsar [7743] lil-Imam al-Muhaddits al-Baihaqi.)
Abdul Haq berkata : telah diriwayatkan bahwa Abdullah bin ‘Umar
–radliyallahu ‘anhumaa- memerintahkan agar dibacakan surah al-Baqarah
disisi quburnya dan diantara yang meriwayatkan demikian adalah
al-Mu’alla bin Abdurrahman
Ada pula mereka yang menganggap sedekah bacaan Al Qur’an adalah
pekerjaan yang sia-sia. Pendapat mereka amalan seperti itu tidak akan
sampai kepada ahli kubur karena salah memahami sabda Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam,
Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah
segala amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang
bermanfa’at baginya dan anak sholeh yang selalu mendoakannya.” (HR
Muslim 3084)
Apa yang dimaksud “terputus segala amalannya” ?
Hadits itu hanya mengatakan “inqatha’a ‘amaluhu , terputus amalnya
maknanya adalah setiap manusia setelah meninggal dunia maka kesempatan
beramalnya sudah terputus atau apapun yang mereka perbuat, seperti
penyesalan atau minta ampun ketika mereka memasuki alam barzakh tidak
akan diperhitungkan lagi amalnya kecuali amal yang masih diperhitungkan
terus adalah apa yang dihasilkan dari amal yang mereka perbuat ketika
masih hidup seperti,
1. Sedekah jariyah
2. Ilmu yang bermanfaat bagi dirinya dan yang disampaikan kepada orang lain
3. Mendidik anak sehingga menjadi anak sholeh yang selalu mendoakannya
Hadits tersebut tidak dikatakan, “inqata’a intifa’uhu”, “terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat”.
Adapun amal orang lain, maka itu adalah milik (haq) dari amil yakni
orang yang mengamalkan itu kepada si mayyit maka akan sampailah pahala
orang yang mengamalkan itu kepada si mayyit.
Sedangkan firman Allah Ta’ala , wa-an laysa lil-insaani illaa maa
sa’aa, “dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya” (QS An Najm [53]:39)
Ayat Al-Qur’an itu tidak menafikan adanya kemanfaatan untuk seseorang
dengan sebab usaha orang lain. Ayat itu hanya menafikan “kepemilikan
seseorang terhadap usaha orang lain”. Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya
mengabarkan bahwa “laa yamliku illa sa’yah (orang itu tidak akan
memiliki kecuali apa yang diusahakan sendiri).
Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang
mengusahakannya. Jika dia mau, maka dia boleh memberikannya atau
mensedekahkannya kepada orang lain dan begitupula jika ia mau, dia boleh
menetapkannya untuk dirinya sendiri.
Jadi huruf “lam” pada lafadz “lil insane” itu adalah “lil istihqaq” yakni menunjukan arti “milik”.
Sesunggunya ayat (QS An Najm [53]:39) terkait kuat dengan ayat sebelumnya yakni tentang dosa bukan tentang pahala.
allaa taziru waaziratun wizra ukhraa, “(yaitu) bahwasanya seorang
yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (QS An Najm [53]:38)
Begitulah cara kaum Yahudi atau yang dikenal sekarang kaum Zionis
Yahudi menghasut atau melancarkan ghazwul fikri (perang pemahaman)
terhadap kaum muslim dengan menyebarluaskan potongan-potongan ayat-ayat
Al Qur’an dan Hadits untuk menimbulkan perpecahan di antara kaum muslim.
Jadi sesungguhnya dalam bentuk lengkapnya adalah
“(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa
orang lain dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa
yang telah diusahakannya dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat
(kepadanya) Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang
paling sempurna. dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala
sesuatu)” (QS An Najm [53]:38 s/d 42)
Kaum Yahudi sudah berhasil mensesatkan kaum Nasrani bahwa seseorang dapat menanggung atau menebus dosa orang lain.
Padahal sudah dijelaskan
” Orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati. Anak tidak akan turut
menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak akan turut menanggung
kesalahan anaknya. Orang benar akan menerima berkat kebenarannya, dan
kefasikan orang fasik akan tertanggung atasnya” (Jehezkiel 18:20)
Dijelaskan bahwa kebaikan (pahala) dan kefasikan (dosa) adalah milik orang yang melakukannya
Kebaikan (pahala) dapat diberikan kepada orang lain namun dosa tidak dapat diberikan atau ditanggung oleh orang lain
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (QS Al Najm [53]:38)
“Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain” (QS Al Israa [17]:15)
“Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat
menggantikan seseorang lain sedikitpun dan tidak akan diterima suatu
tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfaat sesuatu syafa’at
kepadanya dan tidak (pula) mereka akan ditolong.” (QS Al Baqarah
[2]:123)
Begitupula dalam syarah thahawiyah hal. 456 bahwa
**** awal kutipan ****
“ Tidaklah mereka diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan ” (QS Yaa Siin [36]:54)
Ayat ini tidak menafikan hadiah pahala terhadap orang lain karena
pangkal ayat tersebut adalah : “Pada hari dimana seseorang tidak akan
didhalimi sedikitpun dan seseorang tidak akan diberi balasan kecuali
terhadap apa yang mereka kerjakan ”
Jadi dengan memperhatikan konteks ayat tersebut dapatlah dipahami
bahwa yang dinafikan itu adalah disiksanya seseorang sebab kejahatan
orang lain, bukan diberikannya pahala terhadap seseorang dengan sebab
amal kebaikan orang lain.
***** akhir kutipan *****
Bagi yang menghadiahkan bacaan kepada ahli kubur tidak mengurangi pahala atau manfaat untuk dirinya sendiri.
Imaam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dengan sanad beliau dari
Safwaan bahwa ia berkata, “Para ulama biasa berkata bahwa jika Yasin
dibaca oleh orang yang tengah maut, Allah akan memudahkan maut itu
baginya.” (Lihat Tafsiir Ibn Katsir juz 3 halaman 571)
Sayyiduna Jund ibn Abdullah radiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa membaca
surah Yasin pada malam hari dengan niat mencari ridha Allah,
dosa-dosanya akan diampuni.” (Muwattha’ Imaam Maalik).
Imaam ibn Hibbaan mengklasifikasikan hadits ini sebagai Sahiih, lihat
Sahiih ibn Hibbaan Juz 6 halaman 312, ( lihat juga at-Targhiib juz 2
halaman 377).
Riwayat serupa oleh Sayyiduna Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu juga
telah dicatat oleh Imam Abu Ya’ala dalam Musnad beliau dan Hafiz ibn
Katsir telah mengklasifikasikan rantai periwayatnya (Sanad) sebagai
“Baik” (Hasan) (lihat Tafsiir Ibn Katsiir Juz 3 halaman 570).
Berdasarkan riwayat ini, Allamah Munaawi rahmatullah ‘alaih telah
menganalisis bahwa barangsiapa hendak membaca Surah Yasin di pagi hari,
juga akan diampuni dosanya, Insya Allah. (Lihat kitab Faydhul Qadiir,
juz 6, halaman 259).
Sayyiduna ibn ‘Abbaas radiyallahu ‘anhu mengatakan, “Barangsiapa
membaca Yasiin di pagi hari, pekerjaannya di hari itu akan dimudahkan
dan barangsiapa membacanya di akhir suatu hari, tugas-tugasnya hingga
pagi hari berikutnya akan dimudahkan pula.” (Sunaan Daarimi, juz 2,
halaman 549).
Riwayat serupa juga dicatat oleh Imaam Daarimi dari Attaa’ ibn Abi Rabah.
Sayyiduna Ma’aqal ibn Yassaar radiyallau ‘anhu meriwayatkan bahwa
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Yasin adalah kalbu
dari Al Quran. Tak seorangpun yang membacanya dengan niat menginginkan
akhirat melainkan Allah akan mengampuninya. Bacalah atas orang-orang
yang wafat di antaramu.” (Sunan Abu Dawud).
Imaam Haakim mengklasifikasikan hadits ini sebagai sahih di Mustadrak
al-Haakim juz 1, halaman 565; lihat juga at-Targhiib juz 2 halaman 376.
Hal yang perlu kita ketahui adalah bahwa membaca Yasin termasuk
menyambung tali silaturahmi dengan Rasulullah karena Yasin adalah nama
panggilan kesayangan Allah pada kekasihNya
Surah Yasin adalah surah yang menempati urutan ke 36 dalam mushaf
Al-Qur’an. Nama ini diambil dari ayat permulaan surah ini yang terdiri
dari huruf singkatan (muqaththa’ah) ya dan sin.
Ya adalah huruf untuk memanggil (nidaa) artinya wahai dan sin adalah
singkatan dari kata insan artinya manusia, maksudnya adalah manusia
sempurna.
Manusia sempurna yang dituju oleh huruf muqaththa’ah ini adalah
Sayyidina Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam karena beliaulah
seorang nabi yang telah menerirma wahyu Al-Qur’an, kitab suci Allah yang
sempurna, sehingga seluruh kehidupan beliau berada di atas jalan yang
lurus benar.
Oleh karenanya Rasulullah mencintai bangsa Indonesia yang sering
memanggil-memangil Beliau dengan nama panggilan kesayangan Allah
sebagaimana contoh yang terkandung dalam sholawat Badar
Sebagaimana yang kami sampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/02/sholawat-badar/
ulama keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Kyai ‘Ali
Manshur, cucu Kyai Haji Muhammad Shiddiq , anak saudara / keponakan dari
Kiyai Ahmad Qusyairi bin Shiddiq bin ‘Abdullah bin Saleh bin Asy`ari
bin Muhammad Adzro`i bin Yusuf bin Sayyid ‘Abdur Rahman (Mbah Sambu) bin
Sayyid Muhammad Hasyim bin Sayyid ‘Abdur Rahman BaSyaiban bin Sayyid
‘Abdullah bin Sayyid ‘Umar bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ahmad bin
Sayyid Abu Bakar BaSyaiban bin Sayyid Muhammad AsadUllah bin Sayyid
Hasan at-Turabi bin Sayyid ‘Ali bin al-Faqih al-Muqaddam Muhammad Ba
‘Alawi al-Husaini menuliskan sholawat badar yang memuat salah satu nama
panggilan kesayangan Allah Ta’ala kepada Sayyidina Muhammad Shallallahu
alaihi wasallam.
Shalatullah salamullah, ‘ala Thaha Rasulillah
Shalatullah salamullah, ‘ala Yasin Habibillah
Semoga shalawat dan salam selalu kepada Thaaha, Rasulullah
Semoga shalawat dan salam selalu kepada Yasin, Rasulullah
(Thaha dan Yaasiin adalah panggilan / gelar untuk Rasulullah)
******* awal kutipan *******
Tatkala salah satu guru Prof. DR. al-Muhaddits as-Sayyid Muhammad bin
Alawi al-Maliki dan Al-‘Allamah al-‘Arif billah Syaikh Utsman bersama
rombongan ulama lainnya pergi berziarah ke Makam Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam, tiba-tiba beliau diberikan kasyaf (tersingkapnya hijab)
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. dapat berjumpa dengan Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam.
Di belakang Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sangat banyak
orang yang berkerumunan. Ketika ditanya oleh guru as-Sayyid Muhammad
al-Maliki itu: “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang itu?”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun menjawab: “Mereka adalah umatku yang sangat aku cintai.”
Dan diantara sekumpulan orang yang banyak itu ada sebagian kelompok
yang sangat banyak jumlahnya. Lalu guru as-Sayyid Muhammad al-Maliki
bertanya lagi: “Ya Rasulullah, siapakah mereka yang berkelompok sangat
banyak itu?”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian menjawab: “Mereka
adalah bangsa Indonesia yang sangat banyak mencintaiku dan aku mencintai
mereka.”
Akhirnya, guru as-Sayyid Muhammad al-Maliki itu menangis terharu dan
terkejut. Lalu beliau keluar dan bertanya kepada jama’ah: “Mana orang
Indonesia? Aku sangat cinta kepada Indonesia.”
****** akhir kutipan ******
Bangsa Indonesia yang dikenal dan dicintai oleh Rasulullah adalah bagi mereka yang mencintai Rasulullah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Demi Allah, salah
seorang dari kalian tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih dia
cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh manusia.” (HR.
Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [I/58] no: 15, dan
Muslim dalam Shahih-nya [I/67 no: 69])
Bangsa Indonesia yang mencintai Rasulullah sehingga dikenal dan
dicintai oleh Rasulullah adalah bagi mereka yang gemar bersholawat ,
tidak sebatas sholawat ketika sholat saja.
Cara mendekati Rasulullah adalah dengan sering “mendatangi” Beliau,
salah satunya dengan sering bertawasul dengannya yakni bersholawat
kepadanya.
Al Habib Umar bin Hafidz menasehatkan bahwa “tanda kerinduan kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang sungguh-sungguh di dalam
diri seseorang akan menjadikannya benar-benar mengikuti Rasulullah dan
banyak bersholawat padanya”
Dari Ibnu Mas’ud ra. bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda : ”Orang yang paling dekat denganku nanti pada hari
kiamat, adalah mereka yang paling banyak membaca shalawat untukku” (HR.
Turmudzi)
Hujjatul Islam Al Ghazali meriwayatkan
***** awal kutipan *****
Ada seorang laki-laki yang lupa membaca shalawat kepada Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam. Lalu pada suatu malam ia bermimpi melihat
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tidak mau menoleh kepadanya, dia
bertanya, “Ya Rasulullah, apakah engkau marah kepadaku?” Beliau
menjawab, “Tidak.” Dia bertanya lagi, “Lalu sebab apakah engkau tidak
memandang kepadaku?” Beliau menjawab, “Karena aku tidak mengenalmu.”
Laki-laki itu bertanya, “Bagaimana engkau tidak mengenaliku, sedang aku
adalah salah satu dari umatmu? Para ulama meriwayatkan bahwa
sesungguhnya engkau lebih mengenali umatmu dibanding seorang ibu
mengenali anaknya?”
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Mereka benar, tetapi
engkau tidak pernah mengingat aku dengan shalawat. Padahal kenalku
dengan umatku adalah menurut kadar bacaan shalawat mereka kepadaku.”
Terbangunlah laki-laki itu dan mengharuskan dirinya untuk bershalawat
kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, setiap hari 100 kali. Dia
selalu melakukan itu, hingga dia melihat Rasululah Shallallahu alaihi
wasallam lagi dalam mimpinya. Dalam mimpinya tersebut Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sekarang aku mengenalmu dan akan
memberi syafa’at kepadamu.” Yakni karena orang tersebut telah menjadi
orang yang cinta kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dengan
memperbanyak shalawat kepada beliau…
***** akhir kutipan *****
Pada riwayat yang lain seorang Sahabat suatu hari kepada Rasulullah
Muhammad shallallahu alaihi wasallam berkata “Ya Rasulullah, sungguh
engkau lebih kucintai daripada diriku dan anakku. Apabila aku berada
dirumah, lalu kemudian teringat kepadamu, maka aku tak akan tahan
meredam rasa rinduku sampai aku datang dan memandang wajahmu. Tapi
apabila aku teringat pada mati, aku merasa sangat sedih, karena aku tahu
bahwa engkau pasti akan masuk ke dalam surga dan berkumpul bersama
nabi-nabi yang lain. Sementara aku apabila ditakdirkan masuk ke dalam
surga, aku khawatir tak akan bisa lagi melihat wajahmu, karena derajatku
jauh lebih rendah dari derajatmu.”
Mendengar kata-kata sahabat yang demikian mengharukan hati itu, Nabi
shallallahu alaihi wasallam tidak sembarang memberikan jawaban sampai
malaikat Jibril turun dan membawa firman Allah yang artinya,
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah,
yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan
orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS
An Nisaa [4]: 69)
Rasulullah bersabda “Seseorang akan bersama dengan orang yang dicintainya (pada hari kiamat)”. (HR Bukhari 5702)
Begitupula bertawassul adalah dalam rangka menyambung tali silaturahmi dengan ahli kubur
Tawassul itu serupa dengan orang yang membuat skripsi atau karya
tulis yang memulainya dengan salam dan ucapan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu dan mendukung sehingga skripsi atau
karya tulis dapat terselesaikan.
Tawassul adalah salam dan ucapan terima kasih kepada orang-orang
shalih baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup sehingga agama
Islam sampai kepada kita
Pada hakikatnya bertawassul adalah salah satu metode berdoa dan salah
satu pintu (misykat) dari pintu-pintu untuk menghadap Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Jadi maksud sesungguhnya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bertawasul yang paling sederhana adalah dengan amal kebaikan (amal
sholeh) seperti memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sholawat kepada
RasulNya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Jika salah seorang
di antara kalian berdoa maka hendaknya dia memulainya dengan memuji dan
menyanjung Allah, kemudian dia bershalawat kepada Nabi -shallallahu
alaihi wasallam-, kemudian setelah itu baru dia berdoa sesukanya.” (HR
Ahmad, Abu Dawud dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)
Anas bin Malik r.a meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam bersabda: “Tiada doa kecuali terdapat hijab di antaranya
dengan di antara langit, hingga bershalawat atas Nabi shallallahu
alaihi wasallam, maka apabila dibacakan shalawat Nabi, terbukalah hijab
dan diterimalah doa tersebut, namun jika tidak demikian, kembalilah doa
itu kepada pemohonnya“.
Umat Islam setiap hari selalu bertawassul dengan Rasulullah yang
sudah wafat dengan mengucapkan “ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN-NABIYYU WA
RAHMATULLAHI WA BARAKAATUH,”
Sejak dahulu kala, para Sahabat bertawassul dengan penduduk langit
yakni para malaikat dan kaum muslim yang meraih manzilah (maqom/derajat)
disisiNya yakni orang-orang shalih baik yang sudah wafat maupun yang
masih hidup
Pada awalnya para Sahabat bertawassul dengan ucapan
ASSALAAMU ‘ALAA JIBRIIL, ASSSALAAMU ‘ALAA MIKAA`IIL, ASSALAAMU ‘ALAA FULAAN WA FULAAN
(Semoga keselamatan terlimpah kepada Jibril, Mika’il, kepada fulan dan fulan)
Namun kemudian Rasulullah menyederhanakan ucapan tawassulnya dengan ucapan
“ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN”
(Keselamatan juga semoga ada pada hamba-hamba Allah yang shalih)
Kemudian Rasulullah menjelaskan
“Sesungguhnya jika ia mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi“
Oleh karenanya berdoa setelah sholat lebih mustajab karena sholat
berisikan pujian kepada Allah, bertawassul dengan bershalawat kepada
Nabi -shallallahu alaihi wasallam dan tawassul dengan hamba-hamba yang
shalih baik di langit maupun di bumi
Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh telah menceritakan
kepada kami Ayahku telah menceritakan kepada kami Al A’masy dia berkata;
telah menceritakan kepadaku Syaqiq dari Abdullah dia berkata; Ketika
kami membaca shalawat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
maka kami mengucapkan: ASSALAAMU ‘ALALLAHI QABLA ‘IBAADIHI, ASSALAAMU
‘ALAA JIBRIIL, ASSSALAAMU ‘ALAA MIKAA`IIL, ASSALAAMU ‘ALAA FULAAN WA
FULAAN (Semoga keselamatan terlimpahkan kepada Allah, semoga keselamatan
terlimpah kepada Jibril, Mika’il, kepada fulan dan fulan). Ketika Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam selesai melaksanakan shalat, beliau
menghadapkan wajahnya kepada kami dan bersabda: Sesungguhnya Allah
adalah As salam, apabila salah seorang dari kalian duduk dalam shalat
(tahiyyat), hendaknya mengucapkan; AT-TAHIYYATUT LILLAHI WASH-SHALAWAATU
WATH-THAYYIBAATU, ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN-NABIYYU WA RAHMATULLAHI WA
BARAKAATUH, ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN,
(penghormatan, rahmat dan kebaikan hanya milik Allah. Semoga
keselamatan, rahmat, dan keberkahan tetap ada pada engkau wahai Nabi.
Keselamatan juga semoga ada pada hamba-hamba Allah yang shalih).
Sesungguhnya jika ia mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh
hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi, lalu
melanjutkan; ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN
‘ABDUHU WA RASUULUH (Aku bersaksi bahwa tiada Dzat yang berhak disembah
selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya). Setelah itu ia
boleh memilih do’a yang ia kehendaki. (HR Bukhari 5762)
Begitupula dalam susunan doa setelah sho
lat, sebelum doa inti, kita
bertawassul dengan memohonkan ampunan kepada kaum muslim yang telah
wafat.
“Astaghfirullahalazim li wali waa lidaiya wali jami il muslimina wal
muslimat wal mukminina wal mukminat al ahya immin hum wal amwat”
“Ampunilah aku ya Allah yang Maha Besar, kedua ibu bapaku, semua
muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat yang masih hidup dan yang
telah mati.”
Sebaliknya penduduk langit mendoakan penduduk dunia yang menjalin tali silaturahmi dengan mereka
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Hidupku lebih baik
buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian. Kalian bercakap-cakap dan
mendengarkan percakapan. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku.
Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika menemukan
keburukan aku memohonkan ampunan kepada Allah buat kalian.” (Hadits ini
diriwayatkan oelh Al Hafidh Isma’il al Qaadli pada Juz’u al Shalaati
‘ala al Nabiyi Shallalahu alaihi wasallam. Al Haitsami menyebutkannya
dalam Majma’u al Zawaaid dan mengkategorikannya sebagai hadits shahih)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya
perbuatan kalian diperlihatkan kepada karib-kerabat dan keluarga kalian
yang telah meninggal dunia. Jika perbuatan kalian baik, maka mereka
mendapatkan kabar gembira, namun jika selain daripada itu, maka mereka
berkata: “Ya Allah, janganlah engkau matikan mereka sampai Engkau
memberikan hidayah kepada mereka seperti engkau memberikan hidayah
kepada kami.” (HR. Ahmad dalam musnadnya).
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830